BAB I
PENDAHULUAN
Asia selatan –sekarang India—adalah sebuah wilayah yang pernah
diduduki oleh beberapa kerajaan islam. Kekuasaan isam terbesar ialah dinasti
Mughal. Islam masuk di wilayah asia selatan ketika berada di bawah pimpinan
al-Walid, khalifah Umayyah, Syam di bawah panglima perang Muhammad bin Qasim.[1]
Kerajaan Mughal memiliki penguasa yang sangat besar dan mereka mencapai peuncak
kejayaan islam pada masa khalifah Akbar d awal abad ke-16 M. Namun kebesaran
itu tercoreng akibat pengaruh dari seorang penguasa “baru” yang bernama Shah
Suri. Penguasaan yang memiliki otonomi sendiri membuat Mughal berada dalam masa
transisi kekuasaan, sehingga dia mendirikan sebuah dinasti baru di wilayah
utara yang bernama dinasti Suri.
Oleh karena itu, melalui pembhasan ini, penulis berusaha
menjelaskan mengenai masa transisi kekuasaan Mughal, mengapa hal tersebut
terjadi? Bagaimana Shah Suri berotonomi di daelam daerah kekuasaan Mughal? Apa
saja Pembaruan yang dialkukan oleh Sher Shah Suri?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Masa Transisi Mughal
Mughal
merupakan kerajaan Islam di anak benua India, dengan Delhi sebagai ibukotanya, berdiri antara tahun 1526-1858 M.
Dinasti Mughal di India didirikan oleh seorang penziarah dari Asia tengah
bernama Zahiruddin Muhammad Babur (1482-1530M),[2] salah
satu cucu dari Timur Lenk dari etnis Mongol, keturunan Jengis Khan yang telah masuk
Islam dan pernah berkuasa di Asia Tengah pada abad ke 15 M.[3]
Pemerintahan
Zahiruddin Babur diwarnai dengan masa konsolidasi setelah menerima warisan
kekuasaan pemerintahan masa sebelumnya. Pada masa pemerintahannya, dia
meninggalkan dua persoalan besar yaitu; bangkitnya kerajaan-kerajaan non-islam
untuk memberontak, dan munculnya penguasa muslim yang merasa tidak puas dengan
pemerintahnnya dan enggan mengakui kekuasaan Zahiruddin Babaur di Afghanistan.[4]
Oleh karena itu, berdiri sebuah wilayah otonomi baru yang merdeka di dalam
kekuasaan Mughal dan tumbuh pasca pemerintahannya.
Zahiruddin Babur digantikan oleh anaknya, Humayun, yang mana pada
saat itu terjadi kekacauan. Para tentara Mughal yang berasal dari Afghan, Iran,
India, dan Turki, sudah tidak loyal terhadap penguasa, bahkan saudaranya
sendiri, Kamran, melakukan pemberontakan demi mendapatkan wilayah kekuasaan,
dan akhirnya berhasil mendapatkan wilayah Punjab dan Afghanistan.[5]
Karena pemberontakan tersebut, muncul pemberontakan-pemberontakan lain yang
berusaha menentang kekuasaan dinasti Mughal. Raja Afghanistan Sher Shah Suri
berhasil merampas kekuasaan dari Humayun.[6]
Pemerintahan Humayun berhenti –untuk sementara waktu—karena pasukannnya
mengalami kekalahan dan hartanya habis diambil oleh Sher Shah. Oleh karena itu,
pemerintahan Mughal mengalami transisi dan ke-vakum-an –sementara waktu—yang
disebabkan kekuasaan otonomi independen dari Sher Shah yang berhasil menguasai
India (1535-1545).[7]
B.
Kebijakan Sher Shah Suri
Setelah berhasil menguasai sebagian wilayah di Kesultanan Mughal, Sher
Syah Suri memberikan pengaruh yang besar dalam masa transisi tersebut. Sher
Shah Suri berhasil menreapkan kebijakan yang terlepas dari pengaruh Kesultanan
Mughal. Sebagai penguasa yang independen, dia menanamkan great civilization
dalam masayarakat india. Sher Shah dapat dengan mudah mengalahkan dan
mengusirnya dari India,[8]
karena tidak adanya dukungan yang kuat dari saudara-saudaranya. Setelah
kemenangannnya yang gemilang 1539 M, ia memproklamirkan dirinya sebagai sultan
baru dengan mendirikan Dinasti Sur. Meskipun dinastinya hanya merupakan
intervensi masa transisi sejarah India, akan tetapi mampu meninggalkan lembaran
sejarah yang patut dicatat dengan tinta emas.
Pembaruan yang dilakukan oleh Sher Shah Suri bukanlah sebuah
kesengajaan atau reflex dari penguasa, melainkan hasil dari pemikirannya yang
berusaha membaca kecenderungan mentalitas masyarakat India yang asimilatif.[9]
Peradaban asimilatif bangsa India dikarenakan banyaknya pengaruh-pengaruh yang
muncul secara siklus, dari bangsa Arya dan Dravida, kemudian Hindu, dan Islam,
yang menyebabkan heterogenitas masyarakat India. Banyaknya penguasa yang gagal
dalam memahami budaya antara Hindu dan Islam yang ada di masyarakat
memnyebabkan penerapan syari’at islam yang ketat dan formal, bahkan cenderung
terhadap puritan yang kurang mengakomodir antara unsure local dan
kepentingan rakyat.
Kondisi tersebut menyadarkan bagi Sher Shah suri untuk melakukan
pembaruan. Dia mengeluarkan kebijakan yang berdasarakan pada prinsip-prinsip
toleransi, dan ekslusif. Dia faham dengan mentalitas masyarakat India dan para
penguasa Islam sebeleumnya yang masih bersifat kolot dan bertentangan. Karena
pengalaman semasa mudanya, ketika melihat para pegawai ayahnya yang bersifat
curang dalam pengaturan pajak, dan administrasi, sehingga dia menerapkan
pembaruan pemerintahan.[10]
Perombakan besar-besaran terjadi di bawah penguasaan Sher Shah
Suri. Dia mengawali dari pembaruan system pemerintahahn dengan desentralisasi
kekuasaan demi mencapai pemerintahan yang baik. Dia melakukan persilangan
pemerintahan yang mana memasukkan unsur-unsur atau system budaya Arab-Persia
yang berlatarbelakang India.[11]
Dia merombak beberapa system administrasi yang dibagi ke dalam beberapa wilayah
diantaranya: wilayah Sarkar (distrik), Pargana (sub-divisi
distrik), dan Panchayat (semacam RT), Artinya, system pemerintahan otokrasi masih
menjadi ruh utama dalam system pemerintahan, namun pemerintahan yang berada di bawah
diberikan keleluasaan dalam bertindak sesuai dengan otonomi daerah
masing-masing.
Di bidang militer, dia menerapakan kebijakan sentralisasi militer
dalam mengatur pasukannya. Tentara terbagi atas beberapa divisi, dengan
tentaranya disebut sebagai fauji dan pemimpinnya disebut sebagai faudjar.[12]
Dia juga bekerja sama dengan Arid-e- Mamlik,[13].
Para tentara dan pegawainya langsung diberi gaji setelah selesai bertugas.
Di bidang perekonomian, belajar dari pengalamn ayahnya yang pernah
menjadi salah seorang sarkar di Sahsaram, dia melihat sebuah tindakan
yang tidak adil bagi rakyat dan melemceng dari prinsip-prinsip keadilan. Pajak
yang dibebankan terhadap petani dikurangi, terutama dalam masa paceklik. Para
petani dapat membayar pajak dengan uang ataupun dari hasil pertanian mereka.
Pembayaran pajak dengan menandatanagani surat perjanjian yang disebut sebagai Kabudiyat
yang kemudian diberikan Patta atau akta tanah. Kebijakan ekonomi juga
terlihat dari mata uang yang dikeluarkan oleh Sher shah Suri, dan system
perdagangan yang dilakukan secara bilateral maupun multilateral.
Dalam bidang hukum, Sher Shah Suri mennggunakan hukum islam dalam
mengambil kebijakan. Semua kasus pelanggaran bagi umat islam diberikan kepada Amin, sedangkan bagi kalangan non-muslim diberikan
kepada Kazi dan mir-e-dar untuk diadili dan diberikan kepada
panchayat.
Sher Shah Suri
memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Ketika perang terjadi, para tentara
yang melewati dan menghancurkan pertanian ataupun mata pencaharian rakyat umum,
penguasa menggantinya dengan ganti rugi yang sesuai. Dalam system keagamaan dan
arsitektur, dia adalah penguasa yang sangat toleran. Sebagai penguasa, dia
tidak membedakan rakyatnya dari segi suku, ras, maupun agama, melainkan dia
menyatukannya dalam sebuah wadah untuk mencapai kemakmuran. Dia juga membangun
berbagai macam pelayanan untuk umum, seperti jalan raya, tempat istirahat
ditengah perjalanan dan pondok bagi umat Muslim dan Hindu. Dia juga mengangkat
beberapa petinggi negara dari agama Hindu dan diberikan honorarium.
C.
Berakhirnya Masa Shah Suri dan Kembalinya Mughal
Kekuasaan Sheh Shah Suri di India berakhir pada tahun 1545 M.
factor utamanya ialah tidak adanya penerus yang cakap seperti halnya Sheh Shah
Suri. Anak-anaknya saling berebut kerajaan yang ditinggalakan oleh ayahnya
sehingga kekuatan menjadi pecah.[14]
Perpecahan ini memberikan jalan bagi orang luar untuk memaksimalkan dan
menghancurkan kerajaan Suri.
Perpecahahn intern antar penguasa Suri membuat Humayun kembali melihat celah untuk
kembali mendapatkan wilayahnya yang telah hilang selam beberapa tahun. Pada
tahun 1543, dia melarikan diri ke Persia karena serangan dari Sheh Suri. Di
sana, dia meminta suaka politik dari penguasa Safawiyyah yang bernama Shah
Thamasp.[15]
Shah Thamasp memberinya suaka politik dengan satu syarat agar Humayun menyuruh
rakyatnya untuk menerima ajaran Syi’ah.[16]
Setahun kemudian, dia berhasil merebut kembal Qandahar dan Kabul, selanjutnya
secara bertahap dapat mengembalikan kekuasaan Dinasti Mughal yang sempat
diambilalih oleh Sher Shah Suri dan keturunanya. Dia mengembalikan kedaulatan
Mughal, namun kematiannya mengecewakan akibat jatuh dari gedung perpustakaan
Sher Mandal di Delhi.[17]
Pada masa selanjutnya, dia digantikan oleh anaknya, Akbar Yang Agung, hingga
Dinasti Mughal mencapai masa kejayaannya.
Kesimpulan
Warisan kekuasaan dari Zahiruddin Babur ke tangan Humayyun
merupakan awal dari Dinasti Mughal. Humayyun menjabat sebagai penguasa di
India, namun saudara-saudaranya melakukan pemberontakan terhadap dirinya.
Mereka tidak menerima jika Humayyun menjadi penguasa tunggal Mughal. Pemberontakan
terus berlanjut, hingga Sher Shah Suri mendapatkan kesempatan untuk
menggulingkan kekuasaan Humayyun. Dia memberontak kepada Humayyun dan berhasil
mengalahkan Humayyun. Namun pada masa sebelumnya, Sher Shah Suri menolak
pemerintahan yang didirikan oleh Zahiruddin Babur, Mughal, hingga dia melakukan
penolakan dan melawan Humayyun.
Pada masa pemerintahannya, dia mengeluarkan dekrit dan kebijakan
bagi rakyatnya, setelah mengusir Humayyun dari India. Dia melakukan reformasi
dan pembaruan di berbagai bidang, militer, ekonomi, hukum, dan lainnya. Dia
menjadi penguasa yang sangat toleran terhadap umat non-muslim, bahkan dia
adalah orang yang sanagt terbuka terhadap rakyatnya.
Kekuasaannya tidak bertahan lama karena adanya perpecahan intern di
dalam keluarga Sher Shah Suri. Anak-anaknya tidak secakapa dirinya dalam
memerintah, sehingga Humayyun dapat mengambil kembali wilayah kekuasaan yang
pernah dikuasainya. Akhir dari kekuasaan Sherh Shah Suri sangat cepat, namun
memiliki arti penting bagi rakyat India, terutama dalam hal toleransi beragama.
Daftar
Pustaka
Abdullah,
Taufik (ed). dkk. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jil. 2. Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
al-Usairy,
Ahmad, Terj. Samson Rahman. Sejarah Islam: Sejak Zaman Nabi Adam hingga Abad
XX, Jakarta: Akbarmedia, 2010.
Karim, M. Abdul. Sejarah Pemikiran dan
Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007.
Kusdiana,
Ajid Thohari dan Ading, Islam di Asia Selatan: Melacak Perkembangan
Sosial-Politik Islam di India, Bangladesh, dan Pakistan, Bandung;
Humaniora, 2006.
Majmudar,
R.C. (ed), An Advance HIstory of India, London, MacMillan and Co, 1948.
Nehru,
Jawaharlal. The Discovery of India, London, Meredian Books, 1950.
Rizvi,
Sayyid Athar Abbas, Religious and Intellectual History of The Muslim in
Akbar's Reign, New Delhi : Munshiram Manoharlal, 1975.
Sudarwati,
“Pengaruh Reformasi Sher Shah Suri Terhadap Pemerintahan di India”, Sejarah
Peradaban Islam, Fakultas Adab, UIN Sunan Kalijaga, 2004
[1] M.
Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta: Pustaka
Book Publisher, 2007), hlm. 255.
[2]
Taufik Abdullah (ed), dkk. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jil. 2.
(Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 282.
[3] Ibid.,
hlm. 281..
[4]
Ajid Thohari dan Ading Kusdiana, Islam di Asia Selatan: Melacak Perkembangan
Sosial-Politik Islam di India, Bangladesh, dan Pakistan (Bandung;
Humaniora, 2006), hlm. 94.
[5]
Taufik, Ensklopedi Tematis…, hlm. 282.
[6]
Ahmad al-Usairy, Terj. Samson Rahman. Sejarah Islam: Sejak Zaman Nabi Adam
hingga Abad XX. (Jakarta:
Akbarmedia, 2010), hlm. 444.
[7] Karim,
Sejarah Perdaban…., hm 316-317.
[8]
Sayyid Athar Abbas Rizvi, Religious and Intellectual History of The Muslim
in Akbar's Reign (New Delhi : Munshiram Manoharlal, 1975), hlm.51.
[9] Sudarwati,
“Pengaruh Reformasi Sher Shah Suri Terhadap Pemerintahan di India”, Sejarah
Peradaban Islam, Fakultas Adab, UIN Sunan Kalijaga, 2004, hlm. 46.
[10] Ibid.,
hlm. 47.
[11]
R.C. Majmudar (ed), An Advance HIstoory of India ( London, MacMillan and
Co, 1948), hlm. 554.
[12]
Jawaharlal Nehru, The Discovery of India ( London, Meredian Books,
1950), hlm. 240-241.
[13]
Pegawai pemerintahan yang bertanggungjawab untuk memeriksa tentara, dan
mengatur kuda-kuda perang.
[14]
Karim, Sejarah, hlm. 316.
[15] Ibid.,
hlm. 316.
[16]
Taufik, Ensiklopedi Tematis…., hlm. 283.
[17] Ibid.,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar